Senin, 31 Oktober 2011

Tujuan Dan Fungsi Negara

TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA

Menurut buku Prof. MIRIAM BUDIARDJO
            Negara dapat di pandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat di katakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth).
            Menurt roger H soltau tujuan negar aadalah : “ memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the freest possible development and and creative self-expression of its members).”  Dan menurut Harold J. Laski: “menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal (creation of those condition under whice the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires).”
            Tujuan negara Republik Indonesia sebagia tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ialah: “Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: ketahuan yang maha esa, kemanusian yag adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Pancasila).
            Negara yang berhaluan markisme-leninisme bertujuan untuk membangun masyarakat komunis, sehingga bonum publicum selalu ditafsirkan dalam rangka tercapainya masyarakat komunis. Tafsiran itu memengaruhi fungsi-fungsi negara di bidang kesejahteraan dan keadilan. Negara dianggap sebagai alat untuk mencapai komunisme dalam arti segala alat kekuasaannya harus dikerahkan untuk mencapai tujuan itu. Begitu pula fungsi negara di bidang kesejahteraan dan keadilan (termasuk hak-hak asasi warga negara) terutama ditekankan pada aspek kolektifnya, dan sering mengorbankan aspek perseorangan.
            Akan tetapi setiap negara, terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu:
1.      Melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
2.      Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan di indonesia tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan Repelita.
3.      Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4.      Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.
Sarjana lain, Charles E. Merriam, menyebutkan lima fungsi negara yaitu:
a.       Keamanan ekstern
b.      Ketertiban intern
c.       Keadilan
d.      Kesejahteraan umum
e.       Kebebasan
Keseluruhan fungsi negar di atas di selenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Penulis: andry wijaya 

Minggu, 30 Oktober 2011

Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Pengenaan Sanksi Administrasi

PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAH DALAM PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI
Menurut : Prof. Dr. SUKAMTO SATOTO, S.H.,M.H.

          Pemerintah adalah subyek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sebagai subyek hukum, maka pemerintah dapat melakukan perbuatan, baik perbuatan hukum maupun perbuatan nyata, yang keduanya mempunyai relevansi dengan hukum atau perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum langsung maupun tak langsung, positif maupun negatif. Akibat hukum yang bersifat positif tidak cukup relevan juga dihubbungkan dengan pertanggungjawaban. Sedangkan hukum yang bersifat negatif mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kibat , karena dapat melahirkan tututan hak bagi seseorang yang terkena akibat hukum tersebut.
            Sifat negatif yang menimpa seseorang merupakan pelanggaran hak-hak warga negara yang pada umumnya muncul karena pemerintah mengabaikan hukum yang seharusnya dijalankan atau karena pemerintah melakukan larangan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam sistem hukum yang berlaku, setiap subyek hukum yang melanggar hukum atau subyek hukum yang tindakanya menimbulkan akibat hukum (negatif), maka subyek hukum itu harus mengembalikan pada keadaan seperti semula.
            Pemerintah sebagai subyek hukum (privat dan publik), dari dua kedudukan ini melahirkan duabentuk perbuatan, yaitu perbuatan hukum privat, suatuperbuatan yang diatur dan tunduk pada ketentuan hukum privat (perdata), dan perbuatan hukum publik, suatu perbuatan yang diatur dan tunduk pada ketentuan hukum publik, dan karena adanya dua jenis perbuatan pemerintah, maka pertanggungjawaban yang dipikul oleh pemerintah juga ada dua jenis, yaitu pertanggungjawaban perdata dan publik.
            Tentang pertanggungjawaban perdata, kepada pemerintah diterapkan ketentuan pertanggungjawaban yang diatur dalam hukum perdata, yaitu ketentuan pasal 1365,1366, dan 1367 BW. Pasal 1365, menentukan bahwa: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam hukum administrasi ketentuan ini dikenal dengan istilah perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (detournement de pouvoir). Pasal 1366 mengatur, bahwa”setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”. Kemudian pasal 1367, menyatakan bahwa: “seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
            Atas dasar pasal-pasal diatas, pemerintah di bebani tanggung jawab yang sama seperti seseorang atau badan hukum perdata umumnya. Meskipun masalah pertanggungjawaban pemerintah dalam bidang hukum perdat menarik untuk didiskusikan, namun dalam hal ini hanya akan ditekankan pada kajian tentang pertanggungjawaban pemerintah dalam hukum publik, lebih khusus lagi dalam bidang hukum kaitannya dengan sanksi administrasi.
            Dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka pertanggungjawaban tersebut melekat pada jabatan, yang secara yuridis dilekati dengan kewenangan, dan kewenangan inilah yang melahirkan adanya pertanggungjawaban. Dalam kepustakaan hukum administrasi, kewenangan selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena obyek administrasi adalah wewenang pemerintah (bestuurs bevoegdheid). Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Dalam hukum tata negara, wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.
            Pemberian kekuasaan hukum (wewenang) tertentu untuk melakukan tindakan hukum tertentu menimbulkan pertanggungjawaban atas penggunaan wewenang tersebut. Tidak seorang pejabat atau badan pemerintahan manapun dapat menggunakan kewenangan tanpa memikul tanggung jawab. Dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaaan, harus sudah di pikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada waktu menerima kekuasaan (Sowoto Mulyosudarwo, 1990:75). Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa: pengertian tanggung jawab mengandung dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Pertanggungjawaban aspek eksternal, adalah pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga, apabila dalam melaksanakan kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atua kerugian (Suwoto Mulyosudarmo, 1990: 80).
            Pertanggungjawaban hukum terhadap pihak ketiga sebagai akibat penggunaan wewenang dapat ditempuh melalui peradilan. Dalam proses peradilan hakim berwenang menguji penggunaan wewenang terhadap wewenang yang di berikan kepadanya menimbulkan kerugian atau tidak bagi pihak lain. Bila terbukti bahwa penggunaan wewenang oleh pemerintah menimbulkan derita atau kerugian, maka hakim melalui putusannya membebankan tanggung jawab pada badan atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan.
            Prinsip negara hukum mengandung makna setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Setiap tindakan hukum pemerintah mengandung makna penggunaan wewenang, maka didalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban. Dalam perpekstif hukum publik, tindakan pemerintah itu selanjutnya dituangkan dalam beberapa instrumen hukum seperti dalam bentuk peraturan(regeling), keputusan(besluit/beschiking), peraturan kebijaksanaan(beleidsregel) (Periksa, Ridwan, 2003: 254).
            Sesuai dengan sifatnya, maka tidak semua intrumen tersebut menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata secara langsung, dalam arti lain bahwa instrumen itu tidak secara langsung menuntut pertanggungjawaban secara langsung kepada pemerintah. Hanya instrumen hukum dengan keputusan/ketetapan seperti di atur dalam pasal 1 angka 3 undang-undang No.9 tahun 2004 jo undang-undang No.5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara yang menimbulkan akibat hukum secara langsung. Sebagaimana diatur dalam pasal tersebut bahwa keputusan tata usaha negara memiliki sifat final, yang berarti keputusan telah definitif dan dapat menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
            Meskipun setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung tanggung jawab, namun tidak semua yang menjalankan wewenang secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Badan atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan atas dasar wewenang yang bersumber pada atribusi dan delegasi adalah sebagai pihak yang memikul tanggung jawab hukum. Sedangkan kewenangan yang bersumber pada mandat tidak memikul tanggung jawab hukum, dan yang bertanggung jawab adalah pemberi mandat.
            Berkaitan dengan penggunaan wewenang menerbitkan keputusan tentang sanksi administratif, maka badan atau pejabat pemerintah yang menggunakan wewenang menerbitkan keputusan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Kalau harus melalui proses peradilan ia juga harus mempertanggungjawabkan di depan hakim. Apabila sansi administrasi dalam bentuk perbuatan hukum , hakim yang berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan adalah hakim peradilan tata usaha negara (Pasal 49 Undang-undang No.9 tahun 2004 jo Undang-undang No. 5 tahun 1986tentang peradilan tata usaha negara). Sedangkan sanksi administrasi dalam bentuknya merupakan tindakan nyata, maka yang berwenang menyelesaikannya adalah hakim peradilan umum.

Penulis: Andri wijaya

Rabu, 26 Oktober 2011

POKOK-POKOK HUKUM KETENAGAKERJAAN

HUKUM KETENAGAKERJAAN

1.      Hukum ketenagakerjaan menurut Molenaar: bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungsn antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja, antara tenaga kerja dan penguasa.
2.      Hukum ketenagakerjaan menurut iman soepomo: himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Sifat hukum ketenagakerjaan
a.       Privat : karena dalam hukum perdata kita melihat hubungan antara pengusaha dengan pekerja / perjanjian antara pekerja dengan pengusaha.
b.      Publik : ~ Adanya kewajiban-kewajiban baik administrasi negara terhadap pengusaha.
~ Adanya sanksi-sanksi terhadap pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
~ adanya perjanjian internasional di bidang hukum ketenagagkerjaan.
Hakekat hukum ketenagakerjaan
1.      Umum: melindungi pekerja dari tindakan sewenang pihak pengusaha.
2.      Secara yuridis: kedudukan pekerja dan pengusaha itu sama kedudukannya (pasal 27 UUD)
3.      Sosial Ekonomi: secara kedudukan pekerja lebih rendah dari pada pengusaha.
Asaz hukum ketenagakerjaan
a.       Pasal 2: pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan pancasila & UUD 1945.
b.      Pasal 3: diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas pusat & daerah.
c.       Dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera baik materil maupun spirituil.
Asaz penempatan tenaga kerja
1.      Asaz terbuka: pemberian informasi kepada tenaga kerja secara jelas meliputi jenis kerja, jam kerja, dan upah.
2.      Asaz bebas : pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaannya & pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja yang diinginkan agar tidak ada namanya unsur pemaksaan.
3.      Asaz obyektif : pemberi kerja  menawarkan pekerjaan yang cocok dengan pencari kerja sesuai dengan kemampuan & persyaratan jabatan yang dibutuhkan dengan harus memperhatikan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
4.      Asaz adil dan setara : penempatan tanaga kerja berdasarkan kemampuan tidak berdasarkan ras, jenis kelamin, warna kulit, agama & politik.

Ruang lingkup penempatan tenaga kerja
1.      Akal (antar kerja lokal)
2.      Akad (antar kerja antar daerah)
3.      Akan (antar kerja antar negara)
Menurut boediono tenaga kerja asing : setiap orang yang bukan negara indonesia yang mampu melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang & jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Prinsip dalam penempatan tenaga kerja asing.
1.      Si pemberi pekerjaan/ yang memperkerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari mentri atau pejabat yang ditunjuk.
2.      Pemberi kerja kerja orang perorangan dilarang meperkerjakan TKA.
3.      TKA yang bekerja di indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
4.      TKA yang masa kerja sudah habis dan tidak dapat di perpanjang.
5.      Pemberi kerja yang menggunakan TKA harus memiliki rencana penggunaan TKA yang di sahkan oleh mentri dan pejabat. Rencananya:
a.       Alasan penggunaan TKA.
b.      Jabatan /kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan.
c.       Jangka waktu penggunaan TKA.
d.      Penunjukan warga negara indonesia sebagai pendampimg TKA yang dipekerjakan.
6.      TKA wajib membayar konvensasi atas TKA yang di pekerjakan dan pemberi kerja wajib memulangkan TKA ke negara asalnya setelah hubungan kerja selesai.

Selasa, 25 Oktober 2011

TINDAKAN PAKSA SELAIN DARI SANKSI

TINDAKAN PAKSA SELAIN DARI SANKSI
Dari: Hans Kelsen

                   Ketika negara mengalami perkembangan dari komunitas yudisial menjadi komunitas administratif, cakupan fakta-fakta yang menjadikan perlunya tindakan paksa juga meningkat. Yang tercakup di dalamnya sekarang ini tidak hanya tindakan dan kelalaian yang tidak di kehendaki, bahkan juga fakta lain yang tidak memiliki karakter delik. Di antara fakta-fakta itu adalah kecurigaan bahwa individu tertentu telah melakukan sebuah pelanggaran. Organ-organ khusus, yang berkarakter agen polisi, dapat secara sah diberi wewenang untuk mencabut kebebasan individu yang di dakwa itu guna mengamankan proses hukum terhadapnya, dimana akan diputuskan apakah ia benar-benar telah melakukan pelanggaran yang didakwakan kepadanya. Syarat pencabutan atau perampasan kebebasan hukum bukan berupa perilaku tertentu dari individu tersebut, melainkan kecurigaan atau dugaan akan dugaan akan adanya perilaku tersebut. Demikian pula, polisi dapat di beri wewenang oleh tatanan hukum untuk memaksukkan orang ke dalam apa yang disebut ruang pengamanan, yakni untuk mencabut kebebasannya, guna melindunginya dari amuk masa yang mengancamnya. Selanjutnya, tatanan hukum modern menetapkan penahanan paksa dalam institusi yang dihuni individu-individu tidak waras yang bisa membahayakan masyarakat, dan didalam rumah sakit yang menampung penderita penyakit menular. Selanjutnya, hak milik bisa disita jikia diperlukan untuk kepentingan umum, binatang piaraan bisa di binasakan jika tertular wabah penyakit, bangunan dapat diruntuhkan dengan paksa guna mencegah penyebaran api selama terjadi kebakaran. Tatanan hukum negara totaliter mmembri kuasa kepada pemerintahan untuk memasukkan orang-orangyang ideologi, agama atau sukunya tidak mereka sukai kedalam kamp konsentrasi; untuk memaksa mereka melakukan kerja tertentu; bahkan untuk membunuh mereka. Langkah-langkah tersebut secara moral bisa kita kecam keras; namun itu semua tidak bisa dianggap terjadi di luar tatanan hukum dari negara-negara ini. Semua tindakan itu merupakan bentuk perampasan nyawa, kebebasan dan kekayaan seperti halnya sanksi pidana mati, pemenjaraan, dan eksekusi perdata. Namun, sebagaimana telah kami katakan, tindakan tersebut tidak sama dengan sanksi bila tindakan itu bukan merupakan konsekuensi dari tindakan yang tidak di kehendaki masyarakat dan melanggar hukum atau merupakan kelalaian individu; kondisi atau syarat tersebut bukanlah pelanggaran yag sudah di pastikan secara hukum yang dilakukan oleh seorang individu. Delik merupakan perbuatan manusia yang nyata (suatu tindakan atau kelalaian) yang, karena tidak di kehendaki masyarakat, dilarang oleh tatanan hukum; dan ini dilarang selama tatanan hukum itu melekatkan padanya (atau lebih tepatnya merumuskan: kepada fakta bahwa delik itu ditetapkan dalam prosedur hukum) tindakan paksa, lantaran fakta ini dijadikan, oleh tatanan hukum itu, sebagai syarat penerapan tindakan paksa. Dan tindakan paksa ini merupakan sanksi (dalam arti reaksi terhadap suatu pelanggaran) dan yang di bedakan dari tindakan paksa lain yang di tetapkan secara hukum bila fakta pengondisi dari yang pertama bisa dipastikan secara hukum sebagai prilaku manusia, sedangkan tindakan paksa yang bukan karakter sanksi di kondisikan oleh fakta lain. Beberapa tindakan paksa yang tergolong dalam kategori kedua dapat ditafsirkan sebagai sanksi, jika konsep “sanksi” tidak terbatas pada reaksi terhadap perbuatan manusia tertentu yang keberadaan aktualnya ditegaskan secara hukum, namun diperluas pada situasi di mana tindakan paksa di berikan sebagai reaksi terhadap suatu pelanggaran-namun terhadap pelanggaran yang pelaksanaannya oleh individu tertentu belum ditegaskan secara hukum, meski individu itu boleh jadi didakwa telah melakukannya dan karenanya ia di tangkap oleh polisi; dan pada situasi di mana tindakan paksa merupakan reaksi terhadap suatu pelanggaran yang bahkan belum dilakukan, namun diperkirakan akan dilakukan di masa mendatang sebagai suatu kemungkinan- seperti dalam kasus penahanan psikopat yang berbahaya atau orang yang memiliki ideologi, agama, dan ras yang tidak disukai, selama mereka ditahan dalam kamp konsentrasi untuk mencegah mereka dari perbuatan yang tidak dikehendaki masyarakat yang, enah benar entah salah, menurut pandangan ototritas hukum, dianggap mampu mereka lakukan.  Jelaslah bahwa motif ini merupakan landasan bagi penbatasan kebebasan yang terhadapnya, dalam suatu peperangan, warga dari satu pihak yang berperang yang tinggal di kawasan pihak lain tunduk kepada pihak lain tersebut. Jika kita memperluas konsep “sanksi” dalam pengertian ini, ia tidak lagi sebangun dengan “kosekuensi pelanggaran”. Sanksi dalam arti kata yang lebih luas ini tidak selalu mengikuti suatu pelanggaran.
            Terakhir, konsep sanksi dapat diperluas agar mencakup semua tindakan paksa yang ditetapkan oleh tatanan hukum, jika kata itu dimaksudkan untuk hanya mengungkapkan bahwa tatanan hukum bereaksi dengan tindakan ini terhadap situasi yang tidak dikehendaki masyarakat dan menetapkan denag cara ini situasi yang tidak dikehendaki. Ini merupakan ciri umum dari semua tindakan paksa yang diperintahkan atau dikuasakan oleh tatanan hukum.
Penulis: andri wijaya

Senin, 24 Oktober 2011

HAK POLITIK

HAK POLITIK
Dari: Hans Kelsen
          Apa yang dinamakan “Hak politik” memiliki kategori khusus. Hak ini biasanya dijelaskan sebagai wewenang untuk memepengaruhi penyusunan tujuan negara; ini artinya  berpatisipasi secara langsung atau tidak secara langsung dalam penyusunan tatanan hukum yang disitu “kehendak negara” diungkapkan. Namun dalam menerapkan definisi ini orang hanya mempertimbangkan norma umum dari tatanan ini: yakni undang-undang. Partisipasi dalam penyusunan undang-undang, yakni pembuatan  norma-norma hukum umum, oleh mereka yang tunduk kepada norma-norma itu merupakan unsur yang sangat penting dalam pemerintahan demokrasi, berbeda dengan pemerintahan autokrasi dimana subyek tidak dilibatkan dalam penyusunan kehendak negara, dan karenanya ia tidak memiliki hak politik. Undang-undang demokrasi dapat diberlakukan secara langsung oleh “rakyat,” yakni, mereka yang tunduk pada norma-norma di dalamnya. Dalam hal ini kita berbicara tentang demokrasi langsung di mana individu memiliki hak untuk ambil bagian dalam dewan perwakilan rakyat, bergabung dalam diskusi, dan dalam pemungutan suara. Atau, rakyat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang secara tidak langsung, yang berarti bahwa fungsi ini dilaksanakan oleh parlemen yang dipilih oleh rakyat. Bila demikian proses pembentukan kehendak negara-penciptaan norma-norma hukum-memiliki dua tahap; pemilihan parlemen dan penyusunan undang-undang oleh anggota parlemen. Oleh karena itu, dalam hal ini, terdapat dua hak dari individu yang merupakan konstituenny: hak untuk memberikan suara dan hak dari mereka yang terpilih untuk menjadi anggota parlemen dan untuk turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan di dalam majelis itu. Ini semua merupakan hak politik.
            Jika esensi dari hak ini adalah pemberian wewenang kepada individu untuk berpartisipasi dalam pembentukan kehendak negara (dalam penciptaan norma-norma hukum), hak yang ditetapkan oleh hukum pribadi, yakni hak pribadi, juga merupakan hak politik; kerena hak itu juga memungkinkan individu untuk ambil bagian dalam pembentukan kehendak negara.
            Yang  terakhir itu terungkapkan dalam norma individual tentang keputusan pengadilan, sebagaimana juga dalam norma umum undang-undang.
            Ada hak politik lain disamping hak untuk memilih parlement dan untuk berada di parlemen. Tidak hanya organ legislatif, namun juga organ pemerintahan, administrasi, dan pengadilan yang bisa-menurut undang-undang demokrasi-menerima jabatan melalui pemilihan. Selam organ-organ ini memiliki fungsi penciptaan hukum, hak masing-masing untuk memilih merupakan, seperti halnya hak parlemen untuk melakukan pemungutan suara, wewenang hukum untuk berpartisipasi (secara tak langsung) dalam penciptaannya norma-norma hukum yang wewenang penciptaanya diberikan kepada organ-organ itu..............................................................................................................................................

Penulis: andri wijaya

Minggu, 16 Oktober 2011

CARA SESEORANG KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN

TIGA KEMUNGKINAN SESEORANG DAPAT KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN

Menurut:  Prof. Dr. Jimly Assiddiqie, S.H.

1)      Renunciation , yaitu tindakan sukarela seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua negara atau lebih. Misalnya, dalam hal terjadi keadaan bipatride, yang bersangkutan dapat menentukan pilihan kewarganegaraan secara sukarela dengan menanggalkan salah satu statusnya warga negara (renunciation).
2)      Termination, yaitu penghentian status kewarganegaraan sebagai tindakan hukum, karena yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain, negara yang bersangkutan dapat memutuskan sebagai tindakan hukum bahwa status kewarganegaraan dihentikan.
3)      Deprivation, yaitu suatu penghentian paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atua pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila oarang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada undang-undang dasar.


penulis: andri wijaya

Sabtu, 15 Oktober 2011

Subyek Hukum dari HANS KELSEN

SUBYEK HUKUM; ORANG
Dari : HANS KELSEN
a.      Subyek Hukum
Menurut teori tradisional, subyek hukum adalah orang yang merupakan subyek dari suatu kewajiban hukum atau suatu hak. Jika “hak”(berechtigung) dipahami bukan semata sebagai hak refleks, melainkan wewenang hukum untuk mendesak (melalui gugatan hukum) di penuhinya kewajiban hukum, yakni, wewenang hukum untuk berpartisipasi dalam penciptaan keputusan pengadilan yang membentuk sebuah norma individual yang memerintahkan eksekusi sanksi sebagai reaksi terhadap tidak di patuhinya suatu kewajiban; dan jika seseorang mempertimbangkan bahwa subjek dari wewenang hukum untuk menciptakan atau menerapkan norma hukum samasekali tidak selalu di sebut sebagai hukum, maka akan lebih mudah untuk membatasi konsep “subyek hukum” pada subyek kewajiban dan untuk membedakan antara konsep “subyek kewajiban hukum” dari konsep “subyek wewenang hukum”.

b.      Orang (Person) secara fisik

Teori tradisional mengidentikan konsep “subyek hukum” dengan konsep “person”. Definisi “person”, menurut teori tradisional, adalah: manusia sebagai subyek dari hak dan  kewajiban. Namun, karena yang diposisikan sebagai person tidak hanya manusia namuan juga entitas lain, misalnya badan usaha, pemerintahan kota, dan negara, maka pesona didefinisikan sebagai pemegang hak dan kewajiban, dengan karenanya yang bisa menjalankan fungsi sebagai pemegang bukan hanya manusia, melainkan juga entitas lain, misalnya badan usaha, pemerintahan kota, dan negara, maka pesona di defisinikan sebagai pemegang hak dan kewajiban, dengan karenanya yang bisa menjalankan fungsi sebagai pemegang bukan hanya manusia, melainkan juga entitas lain. Konsep “pemegang” hak dan kewajiban memainkan peran sangat penting dalam teori tradisional yang membahas tentang konsep “legal person”. Jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah “orang secara fisik”(physical person); jika pemegang hak dan kewajiban itu merupakan entitas lain,berarti yang dibicarakan teori tradisional itu adalah “badan hukum”(juristic person).
c.       Badan Hukum
Esensi dari apa yang dinamakan badan hukum, yang dipersamakan oleh ilmu hukum tradisional dengan orang secara fisik di gunakan dengan sangat jelas dalam analisis terhadap kasus-kasus tertentu dari badan hukum itu, yakni badan usaha. Ia biasanya di definisikan sebagai komunitas individu yang terhadap mereka tatanan hukum menetapkan kewajiban dan memberikan hak untuk tidak dianggap sebagai kewajiban dan hak individu-individu yang membentuk badan usaha sebagai anggotanya. Karena kewajiban dan hak, dalam beberapa hal, berkaitan dengan kepentingan individu yang membentuk badan usaha, dan tetap bukan-sebagaimana diasumsikan oleh teori tradisional-merupakan kewajiaban dan hak mereka, maka keduanya diinterprestasikan sebagai kewajiban dan hak badan usaha, dan dengan demikian badan usaha tersebut dianggap sebagai person. Relasi hukum dari badan hukum dijelaskan sebagai berikut: sebagai misal, dikatakan bahwa uasha menyewakan sebuah rumah atau membeli lahan. Hak untuk menggunakan rumah itu (yakni untuk meniadakan penggunaan lahan itu oleh selain dari anggota badan usaha tersebut), kepemilikan atas tanah (yakni hak untuk memanfaatkannya), merupakan hak badan usaha, bukannya hak para anggotanya. Jika hak ini di langgar, maka badan usaha itulah, bukannya anggota perseoranganya, yang harus mengajukan gugatan ke pengadilan; kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran hukum-sejumlah uang yang ditagih melalui eksekusi perdata-mengalir ke dalam aset badan usaha, bukan  kepada anggota perseorangan.
d.      Badan hukum sebagai Subyek yang Bertindak
Jika dua individu atau lebih ingin bekerja sama untuk tujuan ekonomi, politik, religius, humanitarian atau untuk tujuan lain dalam lingkup kebelakuan tatanan hukum nasioanal, berarti mereka hendak membentuk tatanan hukum, kepada tatanan norma khusus yang mengatur perilaku ini dan mmembentuk komunitas. Kerja sama individu dalam komunitas itu yang di tujukan untuk mencapai tujuan komunitas dapat diorganisir menurut prinsip pembagian kerja. Dalam keadaan seperti ini komunitas merupakan sebuah badan usaha. Karena: suatu badan usaha didefinisikan sebagai komunitas “terorganisir” yakni, sebuah komunitas yang dibentuk oleh tatanan norma (sebuah  “undang-undang “) yang menetapkan bahwa fungsi-fungsi tertentu mesti dijalankan oleh individu-individu yang diwajibkan dengan cara tertentu oleh undang-undang demi mencapai tujuan ini-dengan kata lain, ia merupakan sebuah tatanan hukum yang membentuk organ-organ yang bekerja menurut prinsip pembagian kerja. Undang-undang yang membentuk sebuah badan usaha diciptakan dengan transaksi hukkum yang di tetapkan oleh tatanan hukum ineternasional, undang-undang suatu badan usaha merupakan tatanan hukum parsial, yang  mesti dibedakan dari tatanan hukum nasional, yang merupakan tatanan hukum  total.
e.       Badan Hukum sebagai Subyek dari Kewajiban dan Hak
Kiasan ini digunakan tidak hanya untuk menjelaskan badan usaha sebagai orang yang bertindak, namun juga sebagai subyek dari kewajiban dan hak;”hak” menurut teori tradisional tidak hanya berarti hak dalam pengertian tekhnis, yakni wewenang hukum, namun juga pemberian izin secara positif. Kewajiban dan hak badan usaha ini sebagian ditetapkan oleh tatanan hukum nasional, dan sebagian lagi ditetapkan berdasarkan otoritas (oleh tatanan hukum nasional) olehundang-undang badan usaha itu. Yang pertama merupakan kewajiban eksternal, yang kedua merupakan kewajiban dan hak internal badan usaha.
f.       Badan Hukum sebagai Konsep Pelengkap Ilmu Hukum.
Menurut analisis sebelumnya, badan hukum, dan juga apa yang dinamakan oarang secara fisik, merupakan konsepsi ilmu hukum. Badan hukum bukanlah sebuah realita sosial, bukan pula, seperti kadang diasumsikan, sebuah kreasi hukum. Jika dikatakan bahwa tatanan hukum “memberikan personalitas hukum kepada seorang individu” ini hanya berarti bahwa tatanan hukum itu menjadikan prilaku individu itu sebagai isi dari kewajiban dan hak. Ilmu hukum mengungkapkan kesatuan kewajiban dan hak ini dengan konsep “orang scara fisik,’ yang berbeda dengan konsep manusia. Konsep orang secara fisik ini bisa digunakan sebagi konsep pendukung dalam penjelasan hukum, namun tidak harus selalu begitu karena situasi yang diciptakan oleh tatanan hukum bisa juga dijelaskan tanpa bantuan konsepsi ini. Jika dikatakan bahwa tatanan hukum memberikan pesonalitas hukum kepada suatu badan usaha, maka ini berarti (1) bahwa tatanan hukum  itu menetapkan kewajiban dan hak yang menjadikan, sebagai isinya, perilaku manusia yang merupakan organ atau anggota badan usaha yang di bentuk dengan undang-undang dan (2) bahwa kumpulan fakta yang pelik ini dapat secara mudah, karena relatif sederhana, dijelaskan bantuan personifikasi undang-undang yang membentuk badan ussaha itu.
g.      Penghapusan Dualisme Hak dan Kewajiban
Menurut ilmu hukum tradisional subyek hukum- yakni orang secara fisik atau badan hukum-dengan hak dan kewajiban-“nya” mengacu kepada hukum dalam pengertian subyektifnya. Perlu dicatat bahwa konsep ”hak”, yang disajikan oleh ilmu hukum tradisional (khususnya jerman), sebagai “hukum dalam pengertian subyektif,” hanyalah dan dalam kasus khusus dari konsep ini yang juga mencakup konsep “kewajiban”. Hukum dalam pengertian subyektif ini dan hukum dalam pengertian obyektif (yakni tatanan hukum sebagai sistem norma), dibedakan sebagai dua lingkup yang berlainan. Teori hukum murni menghapuskan dualisme ini dengan melarutkan konsep “person” sebagai personifikasi gugus norma, dengan mereduksi kewajiban dan hukum subyektif (dalam penertian teknis) menjadi norma hukum yang melekatkan sanksi terhadap prilaku tertentudan menjadikan eksekusi sanksi bergantung pada tindakan yang ditujukan kepad eksekusi bergantung pada tindakan yang ditujukan kepada eksekusi ini.


penulis; andrie widjaya

Kamis, 13 Oktober 2011

Artikel Sejarah Sang Pejuang Yang Gagah Berani dari jambi "Sultan Thaha"

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pahlawan adalah seseorang yang dengan gigihnya telah berjasa untuk memperjuangkan dan mempertahankan keutuhan suatu bangsa. Itulah mengapa pahlawan harus kita hormati dan hargai. Begitu besar pengorbanan para pahlawan untuk memperjuangkan bangsa ini, demi kehormatan suatu bangsa yang bermartabat. Peperangan demi peperangan mereka jalani semata-mata hanya ingin membebaskan rakyat indonesia dari kesengsaraan dan penderitaan yang mereka alami. Tidak bisa kita pungkiri sumber daya alam yang melimpah, baik hayati maupun non hayati yang ada di indonesia ini membuat bangsa-bangsa lain tergiur untuk memilikinya. Salah satu caranya untuk mendapatkannya adalah melalui penjajahan atau peperangan.
Sejarah telah mengukir nama-nama pahlawan yang dengan gigihnya untuk memperjungkan dan mempertahankan tanah air ini. Baik pahlawan yang bersifat kedaerahan maupun yang bersifat nasional. Salah satu pahlawan yang gigih dan keras terhadap penjajah adalah sultan thaha saifuddin dengan nama asli sultan thaha saifuddin jayadiningrat. Seorang putra mahkota dari keturunan kerajaan melayu jambi, beliau adalah pahlawan yang berasal dari jambi. Kemampuan dan keuletan yang beliau miliki untuk mengusir para penjajah sudah tidak diragukan lagi, hingga akhir hayatnya beliau habiskan untuk berjuang melawan penjajah. Jambi patut berbangga hati karena mempunyai seorang pahlawan yang sehebat dan setangguh Sultan Thaha Saifuddin. Karena membela rakyat adalah tindakan yang suci dan harus. Alasan inilah yang membentuk dirinya tidak kenal takut terhadap segala penjajahan dan penindasan.
Negara penjajah yang ingin merebut dan menguasai tanah jambi adalah Belanda dan VOC. Salah satu faktor yang mendorong kedatangan orang-orang Eropa ke jambi adalah faktor ideologi. Mereka berkeinginan untuk menanamkan paham-paham yang mereka anut, termasuk menyebarkan agama Kristen Katolik dan kebudayaannya. Hal ini sesuai dengan semboyan yang mereka anut, yaitu 3G (gold, gospel,glory) mencari kekayaan, sekaligus menyebarkan agama/kebudayaan dan memperoleh kekuasaan.[1] Selain itu jambi dengan luas area 205,38 km2 dan 185 km panjang.[2] Dan letak geografis yang strategis yaitu bersebelahan langsung dengan selat malaka yang merupakan jalur perdagangan Eropa Asia yang sangat vital pada waktu itu. Selain itu jambi salah satu daerah yang mempunyai sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah. Itulah yang membuat bangsa lain ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi dengan ketangguhan dan kegigihan Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah jambi. Jadi tidaklah mengherankan jikalau namanya dikenang dan dikagumi oleh rakyat jambi sebagai orang nomer satu yang berkontribusi dalam memperjuangkan tanah pilih pusako betuah Jambi.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah Asal usul Sultan Thaha Saifuddin sebagai pahlawan Jambi yang dikenal mempunyai kepribadian luhur dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa?
2.      Bagaimana perjuangan Sultan Thaha Saifuddin dalam memperjuangkan tanah jambi dari penjajahan.?
1.3 Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan karya tulis ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui sejarah asal usul Sultan Thaha Saifuddin sebagai pahlawan jambi yang mempunyai kepribadian luhur dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa.
2.      Untuk menguraikan secara ringkas perjuangan Sultan Thaha Saifuddin dalam memperjuangkan tanah Jambi dari penjajahan Belanda.







BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Asal Usul Sultan Thaha Saifuddin
Sultan Thaha Syaifuddin, seorang pahlawan Nasional yang lahir di Jambi pada tahun 1816 di lingkungan istana Tanah Pilih Kampung Gedang kerajaan Jambi.[3] Merupakan sosok yang tak pernah gentar dalam membela tanah air. Secara tegas dan berani beliau menyatakan penolakan terhadap kekuasaan pemerintah Belanda.[4] Semenjak kecil, bocah kecil bernama Taha Saifuddin memang sudah memiliki keistemewaan dalam dirinya. Tanda-tanda itu tampak pada kecerdasan dan ketangkasan yang kerap terlihat saat dia bermain dengan teman sebayanya. Bakat alam luar biasa itu sudah dimilikinya sejak dia lahir dari rahim sang ibu yang kala itu menjadi permaisuri di kerajaan jambi. Taha  Saifudin adalah anak Sultan Fachruddin, sultan pertama yang memerintah jambi sekitar awal abad ke-19 lalu.
Sang bocah selalu berani dan pandai bergaul dengan siapa saja tak ada batasan yang dia lakukan kepada teman-temannya yang sama-sama keturunan bangsawan, atau dengan anak-anak para hulubalang yang menetap di perkampungan, Taha Saifuddin tak pernah sama sekali membedakan mereka. Berani karena benar dan takut akibat perbuatanya yang salah,begitu prinsip hidup yang dia jalankan. Sikap baik ini sangat kuat tertanam dalam dirinya. Sikap itu pula yang pada akhirnya membentuk pribadi sang putra mahkota sampai kelak dewasa dan mampu memimpin kerajaan islam di jambi secara manusiawi.
Dia lindungi rakyat dari penindasan dan kesulitan hidup. Dia perangi kezaliman dan angkara murka kaum penjajah tanpa jera sampai mati tak ada sedikit pun kata kompromi yang dia kabulkan. Jika dalam kenyataan hal itu merugikan dan membuat sengsara kehidupan rakyat jambi. Bocah Taha Saifuddin memang tak pernah lepas dari paham-paham kejujuran dan kebenaran. Dia pun tak menyukai keangkuhan dan ketamakan. Taha biasa dididik ayahnya dengan ajaran budi pekerti yang luhur serta ajaran agama islam yang kuat. Bahkan, pelajaran ilmu ketauhidan telah lama meresap secara baik di dalam jiwanya sejak usia lima tahun. Sang putra mahkota jambi percaya benar, tak ada kekuasaan yang paling besar dan kekal di dunia ini selain kekuasaan Allah swt. Dan, dari dasar keyakinan yang ditumbuhkan sang ayah itu, bocah cilik ini akhirnya mampu berkembang sebagai anak yang luar biasa, berani, dan ulet dalam segala pekerjaan, termasuk dalam cara mengungkapkan pendapat pribadinya.
Di masa putra mahkota ini hidup, jambi telah memiliki sejarah perjuangan yang cukup lama. Pada awal abad ke-19 atau pada saat dia dilahirkan tahun 1816, pemerintahan kerajaan yang ditampuk oleh sang ayah ini sudah bercorak islam. Corak lama yang menganut unsur Hindu-Buddha telah ditinggalkan. Sejak awal abad ke-19 itu pula, sisa kejayaan Sriwijaya dan Singasari maupun Majapahit yang pernah mampir di jambi sebelumnya telah berubah total. Bentuk kerajaan pun diubah menjadi kesultanan. Dan, Sultan Fachruddin, ayah sultan taha yang pemerintahannya selalu di bawah tekanan Belanda, menjadi sultan Jambi pertama yang beragama islam.
“Anakku, terimalah lambang kerajaan berupa pusaka keris Siginje ini. Kelak, dia akan mendampingimu dalam memerintah jambi secara lebih baik lagi daripada pemerintahanku sekarang. Bawalah serta keris ini sebagai tanda bukti ikatan antara sultan dan rakyatnya. Perangilah terus penjajah Belanda agar segera menyingkir dari bumi jambi kita ini. Sabda ini suatu hari diucapkan Sultan Fachruddin di istananya kepada sang putra mahkota. Baginda yang sudah cukup tua ini merasa ajalnya sudah dekat. Dalam usia senjanya itu tampuk pemerintahan pun sementara dititipkan kepada adik Baginda bernama Sultan Abdurachman. Sedangkan, Sultan Taha sendiri karena masih muda dan baru berusia 25 tahun, diserahi tugas sebagai perdana menterinya.
Sikap baginda ini sangat membuat iri adiknya yang lain, yaitu Sultan Nachruddin dan para anak keturunannya. Sebab, mereka merasa punya hak yang sama pula untuk memerintah jambi, namun mereka tak kuasa. Lambang kesultanan berupa “keris siginje” yang menjadi syarat mutlak dalam memerintah kerajaan telah dimiliki Sultan Taha sehinggga secara resmi rakyat jambi tak mendukung atau mengakui keberadaan Sultan Nachruddin. Sedangkan, pemerintahan Sultan Abdurachman pun sifatnya hanya sementara. Setelah lambang kebesaran atau kekuasaan raja itu dilimpahkan kepada Sultan Taha, Baginda Sultan Fachruddin wafat dengan tenang. Baginda meninggalkan sejumlah tugas yang harus bisa diselesaikan oleh adik dan putra satu-satunya ini. Kala itu, kesultanan jambi tengah menghadapi posisi sulit.
2.1 Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Melawan Belanda.
Belanda sebelumnya telah berhasil menekan sang Sultan untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya harus mengakui hak serta kekuasaan penjajah dalam perdagangan di wilayah jambi. Tindakan yang merugikan jambi ini memang tak kuasa ditolak oleh Sultan Fachruddin kala masih hidup. Karenanya sebagai penerus pemerintahannya, Sultan Taha menghadapi tugas mahaberat. Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan terus berontak melihat sikap belanda dan VOC yang akan mengambil kekuasaan penuh yang ditinggalkan ayahandanya. Dia ingin agar jambi dapat kembali menjadi kesultanan yang berdaulat penuh atas rakyatnya. Maka untuk memulihkan kondisi semula, tindakan pertama yang akan dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan kepada sang paman, Sultan Abdurachman.
“Paman Sultan, aku sama sekali tak dapat menerima tindakan belanda ini. Aku tak suka bila jambi terjual begitu saja kepada kekuatan asing. Sanggupkah kita melawan mereka sekarang paman?”. “Benar, Ananda Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat ke medan tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Belanda. Untuk itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika kita mengadakan hubungan dengan bangsa Amerika? Sebentar lagi kaum pedagang asing itu akan datang ke jambi untuk mencari rempah-rempah”. Tepat sekali saran paman. Dengan pegabungan dua kekuatan nantinya, sekaligus aku akan mengeluarkan pula maklumat untuk tak mengakui perjanjian lama yang pernah ditandatangani oleh ayahanda dahulu. Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di palembang pun pihak sultan setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini kesempatan bagi jambi untuk mengacaukan mereka.”
Menjelang perlawanan besar itu tiba, pihak jambi dan Belanda tiba-tiba serentak dibuat kaget. Sultan merasa kaget karena para pedagang Amerika yang akan siap membantunya telah ditangkap Belanda sebelum mengadakan aksi penyerangan. Rahasia ini bocor akibat laporan dari sultan Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor dua sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun akan diangkat menjadi sultan pula oleh Belanda. Di sisi lain, Belanda ternyata lebih kaget lagi. Pasalnya, bangsa penjajah ini tak menduga bahwa di samping perlawanan besar. Sultan Taha yang memimpin pasukan Jambi menyodorkan pula maklumatnya. Sultan Taha menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat yang dibuatnya sama sekali tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu membujuk sang Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama. Namun, harapan Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun berlangsung dengan kekalahan di pihak Belanda.
Namun, meskipun Jambi berhasil memperoleh kemenangan besar, hati Sultan sangat sedih. Pamannya, sultan Abdurachman, tewas. Sementara pamannya yang lain, yaitu paman sultan Nachruddin, kini berada di pihak Belanda dan secara tak langsung tuk mengakui pula Sultan Taha sebagai Sultan Jambi ke-3. Kemenangan ini sekaligus telah memecah dua bagian isi kesultanan Jambi. Namun, Sultan Taha terus memimpin rakyat. Kebencian terhadap pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia lebih dekat lagi mengikis habis bentuk penindasan serta penjajahan di bumi Jambi.
Akhirnya, Sultan Taha berhasil melaksanakan niatnya. Dia memimpin pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris Siginje. Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir. Dia di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat. Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu, dibantu oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad, yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat. Sementara itu, pihak Belanda menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan dipakai menebus kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari Palembang. Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian terjadilah perang kedua. Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan Taha terpaksa meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke wilayah Muara Tembesi.
Bersama sisa-sisa pengikut setianya, dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda sebagai sultan baru  yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau mengakuinya. Pusaka keris Sigenje yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja masih ada di tangan Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan pasal perjanjian baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC, pihak rakyat jambi tetap memihak kepada Sultan Taha. Untung saja menyadari posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi sebagai sultan baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia pun menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan yang disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha.
Kemudian, dengan diam-diam pula tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan Nachruddin segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi pusat kegiatan gerilya Sultan Taha. Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad untuk bersatu padu kembali membela tanah jambi itu. Perlawanan demi perlawanan pun terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga. Dikabarkan, pihak jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya hingga mencapai usia 85 tahun dan tetep tak mengakui kehadiran Belanda maupun organisasi dagangnya, VOC.
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah. Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi di wilayah Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji yang di buat Belanda. Kala itu, Belanda telah sempat memperluas kekuasaannya dengan kisah perjuangan yang cukup itu. Akhirnya sang sultan mengasingkan diri di sebuah daerah Tebo, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai pahlawan yang tak pernah lelah mengusir penjajah dari tanah jambi. Bahkan pemerintah pun tak pernah menghapus nama besarnya dan bumi Jambi. Dan, sebagai tanda penghormatan dari pemerintah, kini nama Sultan Taha tersebut terukir abadi sebagai nama bandar udara dan salah satu perguruan tinggi di provinsi tersebut.[5]






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dari berbagai uraian pada pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Sultan thaha saifuddin adalah seorang putra mahkota yang lahir di lingkungan kesultanan melayu jambi. Merupakan putra dari sultan Fachruddin, Sultan Thaha yang mempunyai kepribadian luhur dan sangat santun membuat beliau di cintai oleh rakyat-rakyatnya. Beliau melanjutkan titah kepemimpianan dari seorang ayahnya diusianya yang sangat muda. Dengan di angkatnya menjadi Sultan jambi, Sultan Thaha menghadapi beberapa hambatan kondisi yang tidak baik pada waktu itu. Karena kesultanan jambi berada di bawah tekanan belanda yang ingin menguasai daerahnya. Selain itu perlakuan tidak enak juga datang dari adik kandungnya yaitu Sultan Nachruddin yang merasa iri terhadap jabatan yang diberikan ayahnya kepada Sultan Thaha. Akan tetapi Sultan tidak patah semangat untuk tetap mempertahankan tanah jambi.
b.       Perlawanan sultan terhadap belanda di awali dengan isi perjanjian yang di buat oleh ayahnya, yang sangat merugikan pihak jambi kala itu. Sehingga pejanjian tersebut langsung di batalkan, dan membuat pihak penjajah merasa geram dan ingin menghancurkan kesultanan jambe. Tetapi sultan tidak takut sedikit pun dengan ancaman tersebut. Hingga pertempuran besar pun terjadi yang pada waktu itu pihak jambi berhasil memukul mundur penjajah. Akan tetapi belanda tidak menyerah sedikitpun untuk kembali menyerang kesultanan dengan di bantu oleh antek-anteknya. Hingga sultan pun tak sanggup untuk menyerang mereka, dan pergi untuk mengasingkan diri. Hingga akhir hayatnya pun sultan tidak pernah di ketemukan oleh belanda. Sultan yang gagah berani pun telah gugur untuk rakyat jambi.




DAFTAR PUSTAKA
Ø  Komandoko, Gamal. 2006. Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Ø  Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.
Ø  Yulianti. 2007. 1700 Bank Soal Sejarah Indonesia Dan Dunia. Bandung: Yrama Widya.
Ø  http://www.tourismjambi.com/id/tentang-jambi.html



[1] Yulianti, 1700 Bank Soal Sejarah Indonesia Dan Dunia, (Bandung: Yrama Widya,2007), hal. 120.
[2] http://www.tourismjambi.com//
3 Lihat dalam buku Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia (2004. hlm. 41 )
4 Detik.com, “Sultan Thaha Tak Pernah Mati”, 11 September 2010.
5 Lihat dalam buku Gamal Komandoko “Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara” (2006. Hal 54 )